Lelang Sepihak Migas Agimuga & Trauma Masyarakat Adat

- Papua60Detik

Blok Warim (kotak) di wilayah Agimuga. Foto: Youtube Halo Migas Ditjen Pajak
Blok Warim (kotak) di wilayah Agimuga. Foto: Youtube Halo Migas Ditjen Pajak

Papua60detik - Pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM baru saja melelang tiga wilayah kerja tambang minyak dan gas (migas) di Papua.

Wilayah kerja Akimeugah I dan II berada di daratan. Sementara Bobara berlokasi di lepas pantai Papua Barat.

Langkah Kementerian ESDM itu langsung mendapat respon dari masyarakat adat Agimuga. Senin (30/10/2023), Tim Penolakan Tambang Migas Agimuga berunjuk rasa di Kantor DPRD Mimika. Sikap mereka tegas, menolak tambang Migas di wilayahnya.

Mahasiswa asal Mimika dari berbagai wilayah juga menyuarakan sikap serupa, menolak tambang migas masuk di Agimuga.

Lelang Sepihak

Bagi masyarakat adat Agimuga, lelang oleh Kementerian ESDM adalah tindakan sepihak. Mereka tahu tanah adatnya sedang dilelang dan bakal dieksploitasi dari media.

Pemerintah pusat tak pernah datang mengajak warga berdialog. Tak ada negosiasi dengan yang punya tanah adat. 

Ketua Tim Penolakan Migas Agimuga, Noris Onawame menyebut, sedikitnya 222 marga hidup di wilayah adat Agimuga.

"Satu orang saja, kalau dia tidak setuju itu tidak bisa. Harus kesepakatan pemilik hak ulayat. Kepentingan orang lain tidak boleh korbankan masyarakat," katanya, Selasa (31/10/2023).

Ia memastikan, Tim Penolakan Migas Agimuga tak akan berhenti menyuarakan protes sampai izin tambang itu dicabut.

Lagian menurutnya, yang dibutuhkan masyarakat Agimuga saat ini adalah pengembangan SDM bukan melulu ekonomi. 

Berada di pesisir timur Mimika, Agimuga sebagai distrik selama ini juga tak begitu mendapat perhatian pemerintah. Lelang sepihak ini sekali lagi seperti membenarkan asumsi, pemerintah ingin SDA Papua, tapi luput memperhatikan manusianya.

"Pemerintah selama ini tak pernah peduli, tiba-tiba mau ambil Migas, enak sekali. Memang pernah (pemerintah) jalan tapi menyangkut pemekaran, bukan Migas," kata tokoh masyarakat Agimuga, Julianus Tsolme.

Lelang sepihak itu juga mengindikasikan, pemerintah pusat menganggap sebagian tanah di Papua adalah tanah kosong tanpa pemilik. Padahal, setiap jengkal tanah di Papua, dimiliki oleh masyarakat adat.

Mewakili Mama-Mama Agimuga, Paulina Dekme mengatakan, tanah adat Agimuga bukan untuk dieksploitasi orang luar. Baginya, tanah adat adalah warisan untuk anak cucu, turun temurun.

"Itu tanah adat. Tidak boleh. Manusia ciptakan tanah punya orang, adat jaga. Tidak boleh orang besar-besar datang. Tidak ada, mama-mama tutup. Mama larang, tidak boleh. Mama jaga di Agimuga," katanya.

Trauma Tambang

Penjelasan Juru Bicara Tim Penolakan Migas Agimuga Fransiska Pinimet bisa menggambarkan psiko sosial masyarakat adat Mimika khususnya Agimuga berhadapan dengan operasi tambang.

Menurutnya, masyarakat adat trauma dengan tambang. Operasi PT Freeport Indonesia (PTFI) selama puluhan tahun tak membawa dampak nyata bagi penghidupan masyarakat adat, pemilik hak ulayat.

"Dari berbagai aspek kami tidak menikmati apa-apa. Nemangkawi, artinya suci, sakral, keramat bagi Suku Amungme. Kini Nemangkawi sudah hancur berkeping keping. Pelanggaran HAM terus terjadi. Pelanggaran HAM di bidang lingkungan, perampasan tanah adat. Itu membuat kami trauma," ungkapnya.

Otsus dari pemerintah pusat menurutnya tak berdampak signifikan. Ia mengukurnya dari sektor pendidikan, hingga saat ini belum ada anak adat yang benar-benar ahli di bidang tambang.

"Otsus tak bawa perubahan. Dari Agimuga sana kami belum punya ahli di bidang migas, kami tidak punya," katanya.

Jika pemerintah pusat memaksakan operasi tambang Migas di Agimuga bisa dipastikan akan berhadap-hadapan dengan sikap dan posisi masyarakat yang menolaknya. Konflik tak mustahil bisa terjadi.

"Jika paksakan, mereka harus bertanggung jawab terhadap dampak, menanggung segala persoalan," kata Tokoh Agama Agimuga, Marten Piligame mencoba mengingatkan.

Kandungan migas di perut Agimuga disebut-sebut sebagai harta karun, namanya Blok Warim. Oleh Kementerian ESDM, Blok Warim dipecah jadi dua wilayah kerja, Akimeugah I seluas 10.791,21 Km persegi dan Akimeugah II seluas  12.987,68 Km persegi.

"Penolakan itu sudah harga mati. Pemerintah harus bicara dengan akar rumput di sana, dari akar rumput," kata Martinus Ausao mewakili kalangan anak muda. (Burhan)




Bagikan :