Masyarakat Adat Tembagapura Terancam Batal Rayakan Natal di Kampung Halaman
Jumat, 13 November 2020 - 08:18 WIT - Papua60Detik

Papua60detik - "Mau pulang Natal di kampung semua toh?" tanya Martina Narkiin. Serentak rekan-rekannya mengiyakan.
Martina dan 1.800 masyarakat adat tiga kampung, Banti I, Banti II dan Opitawak di wilayah Tembagapura sudah tak tahan lagi tinggal di Timika. Mereka ingin pulang ke kampungnya
Pada awal Maret 2020 lalu mereka meninggalkan kampungnya karena ketakutan atas konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB-OPM.
Mereka diturunkan dari Tembagapura ke Kota Timika menggunakan bus PT Freeport Indonesia dalam beberapa gelombang.
Sudah sekitar delapan bulan mereka hidup terlunta-lunta di Timika, tak terperhatikan. Bahkan sudah delapan orang dari mereka meninggal dunia.
Bagaimanapun Martina dan seribuan lebih warga itu tak bisa dipaksakan hidup di Timika. Alam dan banyak perihal lainnya tak sesuai dengan kondisi mereka. Hidup di Timika mereka sakit-sakitan.
"Di sini jalan dengan uang, makan dengan uang, semua uang. Di atas tidak, mereka hidup dengan dorang punya hasil kebun. Segala macam penyakit datang, di kampung tidak pernah," ungkapnya.
Pulang Natal di kampung bagi yang lain hanyalah perkara sederhana. Tapi bagi 1.800 masyatakat adat ini, pulang kampung jadi perkara amat pelik.
Bayangkan, untuk pulang kampung saja, mereka harus menggunakan jasa kuasa hukum dari Lokataru, Haris Azhar.
Ribuan warga ini meninggalkan kampung, mengevakuasi diri di Kota Tembagapura karena alasan keamanan. Mereka lalu diturunkan ke Kota Timika.
Kini, pemerintah menggunakan alasan yang sama, keamanan, untuk menahan ribuan warga ini tak pulang ke kampungnya.
Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob mengaku telah melakukan pertemuan beberapa kali bersama unsur terkait membahas pemulangannya. Bahkan sudah ada tim yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah ini. Kendati demikian, pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil.
Ia menegaskan, pemulangan ribuan warga ini menunggu kepastian keamanan dari TNI-Polri. Wabup juga menyinggung soal pembenahan fasilitas kelayakan hidup.
"Tergantung situasi keamanan. Nanti kita lihat, saya tidak bisa jawab. Akan kita rapatkan kembali. Karena kami sudah bagi tugas, Pemda TNI-Polri dan Freeport untuk menyelesaikan persoalan mereka seperti rehab rumah. Situasi keamanan informasi TNI-Polri aman, fasilitas juga sudah harus rapi," katanya (12/11/2020).
Wakapolres Mimika, Kompol I Nyoman Punia menambahkan, sedang mempelajari situasi keamanan di Banti. Menurutnya, untuk persoalan ini akan tetap ada koordinasi antar TNI, Polri, Pemkab dan PTFI.
"Selama ini juga aparat TNI dan Polri wilayah Tembagapura terus selidiki keberadaan KKB di sekitaran wilayah itu. Jika memang sudah terjamin keamanannya, tempat tinggalnya sudah siap, pasti akan kita pulangkan," kata Wakapolres.
Tapi bagi kuasa hukum ribuan warga ini, Hari Azhar, aspek keamanan terlalu sering jadi alasan di Papua sehingga warga tak lagi menghuni kampungnya. Ia menyebut, di Nduga dan Intan Jaya terjadi hal serupa.
Menurutnya, ribuan warga ini bukan mengungsi, tapi mengevakuasi diri sambil menunggu aparat TNI-Polri mengamankan kampung mereka.
"Kan tujuannya TNI-Polri dibentuk kan itu. Kalau TNI-Polri tidak ngamanin warganya, terus dia mau ngamanin siapa? Dalam kasus tiga kampung ini. Malu ada warganya 1800 orang, punya inisiatif mengamankan diri. Jadi bukan negara atau aparat keamanan yang mengamankan mereka, tapi mereka yang punya inisiatif mengamankan diri," katanya.
Mestinya, kata Haris, pemerintah dan PT FI segera menyusun rencananya kepulangan masyarakat adat ini. Sebab jika tidak, justru akan menimbulkan kecurigaan modus di baliknya.
"Nah ini kok kayak menikmati. Saya curiga ada yang menikmati mereka ini ada di luar kampungnya. Ada siasat jahat apa. Kalau memamg tidak ada siasat jahat, mustinya mereka segera dijemput balik ke kampung," ujar Haris. (Salmawati Bakri/ Burhan)