Pemilik Hak Ulayat Menolak Penandatanganan AMDAL PT Freeport Secara Sepihak

- Papua60Detik

Tokoh masyarakat Amungme, Janes Natkime. Foto: Terry/ Papua60detik
Tokoh masyarakat Amungme, Janes Natkime. Foto: Terry/ Papua60detik

Papua60detik – Masyarakat adat pemilik hak ulayat operasi tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) menyatakan penolakan terhadap rencana penandatanganan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) guna memperbaharui izin lingkungan perusahaan tersebut dalam waktu dekat di Bogor. 

Tokoh masyarakat Amungme, Janes Natkime menegaskan, penandatanganan AMDAL harus melibatkan pemilik hak ulayat. Hal itu, menurutnya jelas diatur di dalam forum MoU 2000 dalam poin 9 yang menyebut PT Freeport harus bersama-sama atau sejalan dengan masyarakat pemilik hak ulayat.

Tapi kenyataan yang terjadi, hanya pemerintah dan PTFI yang sejajar, sementara masyarakat pemilik hak ulayat ditinggalkan.

“Kami mau ke depan pemerintah harus melibatkan pemilik hak ulayat untuk duduk bersama. Kami sayangkan yang mulia pak Presiden Jokowi turun ke timika langsung ke Tembagapura tanpa melibatkan pemilik hak ulayat kami menyesal luar biasa," ujar Janes di kediamannya Jalan Agimuga Mile 32, Sabtu (29/10/2022).

Mewakili marga Teneleng/Omabak, Wananok, Juntang, Natkime Magal, Beanal, Bugaleng, Omaleng, Mentang, Jamang, Nosolame, Kum, Jawame, Anggaibak, Buwinem, Yanem, Alomang, Kelanangame dan sejumlah marga Amungme lainya, Janes meminta agar Manejemen PTFI duduk bersama dengan mayarakat adat pemilik hak ulayat sebelum penandatanganan AMDAL. 

Ia mengingatkan kepada Manejemen PTFI, apabila masih ingin terus beroperasi di Tembagapura, maka harus melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat. Pemerintah, perusahan dan pemilik hak ulayat harus sejajar. 

“Kalau tidak mau ada masalah, ini harus sejajar (pemerintah, perusahan dan masyarakat adat) tidak boleh hilang,  begitu juga membuat AMDAL harus duduk bersama untuk membahas MoU,” ujarnya.

Janes menambahkan, pembuangan limbah harus tetap di Banti, tempat yang sudah biasa. Itupun harus dibicarakan dengan pemilik hak ulayat termasuk pelibatan pemuda.

“Kami masyarakat adat menolak pembuangan tailing atau AMDAL ke Nusolanop, harus kembali ke Banti seperti yang selama ini dilakukan. Jangan dialihkan ke tempat lain, kita harus menghormati hukum adat dan UU yang berlaku di negara ini sehingga suku yang mendiami di wilayah operasi tidak dilupakan,” jelasnya. 

Sementara itu tokoh intelektual Amungme, Jimmy Natkime mengatakan ada permainan dalam proses pengurusan pembaruan AMDAL ini.

“Kami generasi muda menyatakan bahwa penandatanganan AMDAL itu tidak sah. Jangan mengatasnamakan Amungme dan marga tertentu, harus mereka datang duduk bersama korban permanen baru menandatangani AMDAL,” katanya.

Ia meminta itikad baik dari pemerintah dan PTFI datang duduk bersama berbicara dengan pemilik hak ulayat terutama generasi muda Amungme. (Terry)




Bagikan :