Denda Adat Sudah Dibayar, Mengapa Narapidana Belum Bisa Bebas? Ini Penjelasannya

- Papua60Detik

Penyelesaian pembayaran denda adat, Selasa, 4 Maret 2025. Foto: Istimewa
Penyelesaian pembayaran denda adat, Selasa, 4 Maret 2025. Foto: Istimewa

Papua60detik – Pelaku pembunuhan terhadap pria berinisial TW di Jalan Cenderawasih pada 8 Maret 2024 telah divonis 5 tahun penjara. Pelaku yang merupakan istri korban kini jadi warga binaan Lapas Timika.

Selain hukum positif, penyelesaian kasus ini juga menggunakan mekanisme hukum adat. Denda adat senilai Rp 1.500.050.000 telah dibayarkan ke pihak korban pada Selasa, 4 Maret 2025 lalu.

Tokoh masyarakat, Anton Wonda yang memediasi penyelesaian hukum adat kasus itu mengatakan, saat pelaku ditangkap, pihak korban dan pelaku sudah sepakat pembayaran denda adat. Kini keluarga pelaku mempertanyakan mengapa pelaku belum dibebaskan dari Lapas pasca pembayaran denda adat. 

"Penyelesaian adat ini mereka cari hampir satu tahun baru bisa terkumpul (uang) dan dibayarkan kemarin. Masyarakat maunya kalau sudah bayar adat, sudah bisa keluar," ujarnya, Sabtu (8/3/2025)

Menurutnya, ada ketidaksepahaman di masyarakat mengenai perbedaan antara penyelesaian hukum adat dan hukum negara atau hukum positif. Mereka berharap dengan telah dibayarnya denda adat, maka pelaku bisa dibebaskan.

Kasi Kamtib Lapas Mimika, Mahrika Way, menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa serta-merta membebaskan pelaku hanya berdasarkan penyelesaian adat. Dalam hukum positif, keputusan pengadilan yang sudah bersifat inkrah atau berkekuatan hukum tetap harus dijalankan.

"Kami dari Lapas prinsipnya mengikuti undang-undang. Jika ada perdamaian, proses selanjutnya adalah mengajukan peninjuan kembali (PK). Kalau kita mau keluarkan bersangkutan, itu harus melalui proses pengadilan, tidak bisa langsung dilakukan," jelasnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Bahtera Efata Kemuliaan Surga (YLBHBKS) Frengky Kambu menyebutkan, satu-satunya jalur hukum untuk mengupayakan kebebasan pelaku adalah melalui peninjuan kembali (PK) yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA).

"Proses PK memakan waktu sekitar 4 bulan atau lebih, tergantung dari Mahkamah Agung. Jika memang ada bukti baru yang bisa meringankan hukuman, maka ada peluang untuk dikurangi atau bahkan dibebaskan," katanya.

Menurutnya, kasus ini menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang perbedaan antara penyelesaian adat dan proses hukum positif. Jika ingin penyelesaian adat menjadi pertimbangan dalam peradilan, maka sudah harus dilakukan sebelum vonis dijatuhkan.

"Ketika seseorang ditangkap polisi, di situlah kesempatan terbaik bagi masyarakat untuk berunding dan menyelesaikan masalah secara adat. Jika sudah masuk ke pengadilan, maka hukum positif akan berlaku sepenuhnya," tambah Frengky Kambu.

Ia berharap, warga memahami bahwa hukum adat tetap memiliki tempat dalam penyelesaian sengketa, tetapi tidak serta merta membatalkan putusan pengadilan.

Frengky Kambu menjelaskan, hukum adat tidak menggugurkan hukum negara atau hukum positif. Penyelesaian adat penting untuk menjaga perdamaian di masyarakat, tetapi tidak serta-merta membebaskan seseorang dari hukuman positif. (Faris)




Bagikan :