Mengenal Tradisi Pukul Manyapu di Momen HUT Merauke
Senin, 14 Februari 2022 - 14:10 WIT - Papua60Detik

Papua60detik – Melestarikan adat budaya, Organisasi Maluku Satu Rasa (M1R) Cabang Merauke, Papua menggelar tradisi Pukul Manyapu atau biasa yang disebut Palasa di Pantai Lampu Satu pada Minggu (13/2/2022) dalam rangka turut memeriahkan Hari Ulang Tahun ke 120 Kota Merauke.
Pukul Manyapu atau saling Pukul mengunakan sapu lidi atau sapu merupakan tradisi unik dari Desa Mamala dan Desa Morela, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah yang digelar sejak abad ke 17.
Tradisi ini diciptakan oleh seorang tokoh agama Islam yang bernama Tuni, dan kemudian dilaksanakan secara turun temurun. Tradisi ini ditunjukkan sebagai perayaan atas rampungnya pembangunan masjid, dan biasanya digelar setiap tujuh hari setelah Lebaran.
Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah masyarakat setempat, yaitu perjuangan Kapitan Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke 16 di tanah Maluku.
Dalam pelaksanaannya, para peserta yang merupakan pemuda dibagi dalam dua regu. Tiap regu berjumlah minimal 10 orang dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada serta memakai pengikat kepala merah.
Alat pukul dalam tradisi ini adalah sapu lidi dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dada hingga perut.
Kedua regu tersebut saling berhadapan. Setiap orang memegang batang lidi enau berukuran besar, kemudian mereka secara bergantian saling memukul tubuh hingga luka dan berdarah.
Menariknya, meskipun tubuh para pemuda itu sudah terluka, tidak ada yang marah apalagi dendam. Sebab luka dan darah itu merupakan simbol perjuangan melawan penjajah, dan juga persaudaraan masyarakat Maluku.
Pembina organisasi Maluku Satu Rasa Merauke, Taufik Latarisa mengatakan bahwa pergelaran budaya tersebut selain untuk memeriahkan hari jadi Merauke, juga untuk meningkatkan persaudaraan warga Maluku di kabupaten tersebut.
"Pentas seni budaya ini bagian dari berbagi kegembiraan masyarakat Maluku dengan masyarakat Merauke di momentum HUT Kota Merauke ke 120," kata Taufik.
Dalam kehadirannya di Merauke, organisasi Maluku Satu Darah siap membangun kerja sama dengan masyarakat nusantara termasuk juga dengan masyarakat asli Papua. Terutama dalam melestarikan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal.
"Kami akan selalu berkolaborasi dengan semua suku untuk membangun nilai-nilai budaya, sehingga bisa lebih meningkatkan persaudaraan dalam tatanan kehidupan sosial," tuturnya.
Taufik berharap kepada generasi muda, lebih khusus warga Maluku di perantauan agar tidak melupakan atau meninggalkan budaya yang diwariskan oleh leluhur.
"Generasi muda merupakan penerus bangsa. Indonesia negeri yang kaya akan budaya, karenanya pemuda harus bisa melestarikan nilai-nilai budaya sehingga budaya kita tidak hilang atau bergeser karena arus globalisasi," pungkasnya.
Pergelaran tradisi ini diawali dengan atraksi bambu gila yang diperagakan oleh sejumlah pemuda. Bambu gila merupakan salah satu permainan rakyat Maluku yang sarat mistis.
Atraksi ini melibatkan 7 hingga 15 orang yang bertugas memeluk bambu, dengan seorang pawang yang membacakan mantra.
Saat mantra dibacakan, bambu akan merontak dan sesekali menghempas dari dekapan erat para pemuda. Hal ini menyebabkan para pemeluk terjatuh, bangun dan terjatuh lagi, sambil mereka berupaya keras mengendalikan amukan bambu gila.(Eman Riberu)