Pejuang Lingkungan Vincent Kwipalo Laporkan PT MNM ke Mabes Polri
Potret tanah adat milik Vincent Kwipalo yang diduga diserobot oleh perusahaan tebu PT Murni Nusantara. Foto : Isitimewa
Potret tanah adat milik Vincent Kwipalo yang diduga diserobot oleh perusahaan tebu PT Murni Nusantara. Foto : Isitimewa

Papua60detik - Pejuang lingkungan hidup asal Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke, Vincent Kwipalo melaporkan PT Murni Nusantara Mandiri (PT MNM) ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan tindak pidana perkebunan, Selasa (4/11/2025).

Laporan tersebut teregister dengan Nomor: LP/B/544/XI/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI dan diterima oleh Yudi Bintoro atas nama Kasub Penerimaan Laporan Bareskrim Polri.

Vincent Kwipalo datang didampingi tim kuasa hukum dari Solidaritas Merauke, antara lain Emanuel Gobay dan Asep Komarudin serta sejumlah advokat lain.

Menurut Emanuel Gobay, laporan tersebut diajukan karena PT MNM diduga telah melakukan kegiatan perkebunan di atas wilayah adat Marga Kwipalo tanpa izin dan persetujuan masyarakat adat pemilik hak ulayat.

“Hari ini kami melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan tindak pidana perkebunan oleh PT Murni Nusantara Mandiri, yang diduga melanggar Pasal 385 ayat (1) KUHP serta Pasal 55 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,” ujar Emanuel Gobay di Jakarta.

Sejak tahun 2024, masyarakat adat Marga Kwipalo menolak kehadiran perusahaan perkebunan tebu PT MNM yang beroperasi di wilayah adat mereka. Wilayah tersebut mencakup hutan, rawa, dan dusun yang selama ini menjadi sumber pangan, obat-obatan, serta mata pencaharian masyarakat adat.

Namun, penolakan tersebut tidak digubris. Perusahaan tetap melakukan pengukuran, pematokan, dan penggusuran lahan, termasuk di hutan keramat Cacibi, Abakin, Agodai, dan Congyap. Bahkan ditemukan pembangunan sarana dan prasarana militer di dusun Muckai sejak Juni 2025.

“Kami sudah berulang kali menyampaikan laporan kepada pemerintah daerah, Komnas HAM, hingga aparat keamanan, tapi tak ada tanggapan,” ujar Vincent Kwipalo.

“Tanah dan hutan adat adalah sumber kehidupan kami. Jika hutan habis, kami dan anak cucu mau hidup di mana.”

Masyarakat Marga Kwipalo telah memasang sasi atau larangan adat di wilayah mereka sebagai bentuk peringatan dan proteksi adat. Namun perusahaan tetap melakukan aktivitas tanpa Hak Guna Usaha (HGU), hanya bermodal perizinan berbasis risiko dan persetujuan pemanfaatan ruang dari pejabat pemerintah terkait.

Marga Kwipalo merupakan bagian dari Masyarakat Adat Malind Anim dari Suku Yei, yang telah diakui secara resmi melalui Surat Keputusan Bupati Merauke Nomor 100.3.3.2/1413/Tahun 2024 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Penghormatan Hukum Adat serta Wilayah Adat Suku Yei di Kabupaten Merauke.

Emanuel Gobay menjelaskan bahwa keberadaan dan hak-hak masyarakat adat telah dijamin oleh berbagai peraturan.

Kuasa hukum menilai tindakan PT MNM telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan menimbulkan konflik sosial di wilayah tersebut.

“Tanpa ada musyawarah dan persetujuan, perusahaan langsung masuk ke tanah adat, menghancurkan hutan, merusak tanaman tradisional, dan menghilangkan lahan pangan serta tempat berburu,” jelas Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia sekaligus kuasa hukum Vincent Kwipalo.

Emanuel Gobay dan tim hukum meminta Kapolri menindaklanjuti laporan tersebut serta memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat Kwipalo.

“Kami meminta Kapolri menghentikan sementara seluruh kegiatan perusakan hutan yang dilakukan PT MNM dan memberikan perlindungan bagi masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata,” tegas Asep. (Jamal)