Petani Mengeluh, Modal Besar Tak Sebanding dengan Harga Jual
Kamis, 16 Oktober 2025 - 16:04 WIT - Papua60Detik

Papua60detik - Syahdin petani SP6 Kampung Naena Muktipura mengeluh semakin hancurnya harga sayur.
Syahdin telah lebih 30 tahun menjadi petani, sejak masuknya transmigran dari NTT-NTB ke wilayah Mimika pada 1993.
Ia sudah katam menjadi petani, sepanjang hari tak lepas dari cangkul dan arit. Di pikirannya hanya satu, bagaimana hidupanya terus berlangsung.
Di atas tanah satu hektare, beragam komoditas dia tanam. Daun bawang, pepaya, timun, kacang panjang dan cabai.
Semuanya digarapnya sendiri, jika banyak pekerjaan dia sewa petani lain mengerjakan lalu dibayar.
Pagi hari dia sudah beres memanen cabai, sekitar 7 kilo yang didapat. "Hancur harga sayur sekarang," katanya.
Harga cabai dari petani, belakangan ini Syahdin mendapat harga 55 ribu per kilo, katanya itu tak sebanding dengan tenaga dan modal yang dikeluarkan.
Apalagi harus berhadapan dengan tengkulak yang berpotensi memainkan harga. Bahkan para tengkulak ini yang merepotkan petani.
Cara kerjanya, tengkulak datang membawa sayur yang sudah disiapkan petani sesuai pesanan. Namun petani tak langsung menerima uang, setelah barang terjual di pasar, barulah petani diberi uang.
"Kan sama seperti kami kasih modal ke tengkulak," kata Syahdin.
Petani tak bisa tentukan harga, yang berperan menentukan si tengkulak karena setiap harinya ke pasar, tahu naik turunnya harga. Sementara petani hanya ikut apa kata tengkulak. "Rata-rata punya mobil semua tengkulak ini, petani yang gak punya, punya cuma motor grandong (motor kebun) saja ini," celetuknya.
Selain cabai, harga sawi, timun dan kacang panjang juga anjlok. Sawi dan kacang misalnya, hanya Rp3 ribu per kilo. Paling parah timun, separuh dari harga sawi dan kacang.
Dengan harga Rp1.500 per kilo, timun kebanyakan dibiarkan hingga membusuk di pohon. Ingkos panen dan tenaganya saja jika dihitung tak akan cukup hanya untuk sekadar mengasapi mulut.
Tak kecil modal yang dikeluarkan oleh petani, termasuk Syahdin. Harga pupuk yang kian meroket, kini tembus Rp900 ribu per karung, plastik penutup bedengan Rp800 ribu per rol, biaya cangkul per bedengan 50rb dan ongkos panen.
Tak cukup di situ, obat rumput, obat daun dan bibit tanaman. Semuanya jika ditotal seharga motor baru.
Modal itu semua dibiayai dari hasil panen dan tabungan. Katanya, pemerintah tak pernah menengok sekalipun. "Dinas pertanian ini seperti sudah mati, gak pernah ada penyuluhan, bantuan juga," ujar Syahdin.
Beruntung para petani ini hidup dari apa yang ditanam, untuk memenuhi dapur tak perlu menguras uang belanja.
Belakangan, petani sangat merasakan harga yang kian menurun, hancur-hancuran katanya. Harusnya, dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah bisa menyerap sayur dari petani lokal, bukan mengandalkan kiriman atau menyingkirkan petani.
Menurutnya, pemerintah bisa membantu petani untuk memenuhi kebutuhan MBG dengan membeli sayur langsung ke lahan pertanian. Yang tadinya Rp5000 per kilo, pemerintah bisa ambil dengan harga Rp7000, itu akan sangat membantu petani.
Belum lagi adanya kiriman dari luar, yang semula harga cabai Rp70 ribu menjadi Rp50 ribu jika kiriman masuk.
Kalau petani yang katanya sebagai penyangga tatanan negara saja merasakan ketimpangan sosial yang begitu mendalam, apalagi dengan para pekerja lain yang berada di republik ini.
Pemerintah getol dengan swasembada pangan. Jika Syahdin sebagai contoh, jelas program swasembada pangan itu meleset.
Sesulit dan sehancur apapun keadaannya, bagi Syahdin, jadi petani banyak berkahnya, kata Syahdin. (Eka)