Protes Caleg Perempuan Nduga: Sistem Noken Mendiskriminasi Hak Politik Kami

- Papua60Detik

Caleg perempuan Nduga menyampaikan aspirasi ke Forkopimda, Senin (19/2/2024). Foto: Istimewa
Caleg perempuan Nduga menyampaikan aspirasi ke Forkopimda, Senin (19/2/2024). Foto: Istimewa

Papua60detik - Calon Legislatif (Caleg) dari partai politik peserta Pemilu di Kabupaten Nduga mengajukan protes terhadap pemungutan suara Pemilu sistem noken.

Caleg PSI Dapil 2 Nduga Joice Wandikbo mengatakan, Pemilu sistem noken dengan cara 'bungkus' merugikan hak politik perempuan. Pasalnya suara pemilih ditentukan oleh orang-orang tertentu yang notabene adalah kaum laki-laki yang tidak mengerti hak dan kepentingan politik perempuan.

Dengan cara pemungutan suara demikian, Joice mengindikasikan, sekitar 90 Caleg perempuan di Nduga tidak satupun yang mendapat perolehan suara signifikan.

Senin (19/2/2024), para Caleg perempuan Nduga telah menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka ke pimpinan Forkopimda.

Mereka menuntut, pertama, harus ada 6 keterwakilan perempuan di kursi legislatif Kabupaten Nduga. Kedua, meminta agar kuota 6 kursi DPR Kabupaten dan 4 kursi DPR Provinsi jalur Otonomi Khusus diberikan 50 persennya kepada kaum perempuan. 

"Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, kami politisi perempuan Nduga akan memboikot Pemilu berikut. Kami tidak akan masuk jadi Caleg yang nyatanya hanya untuk memenuhi syarat 30 persen Caleg perempuan di setiap Parpol," kata Joice saat menghubungi Papua60detik.

Caleg PKB Dapil 1 Kabupaten Nduga, Darimi Nimiangge menambahkan, alih-alih pakai cara 'bungkus' seperti saat ini, sistem noken menurutnya seharusnya hanya membantu setiap warga menentukan pilihan.

"Jadi saksi setiap Caleg itu seharusnya bawa noken, nanti warga yang pilih kertas suara dimasukkan ke noken yang mana. Tapi yang terjadi ini tidak demikian, semua pakai sistem 'bungkus'. Caleg perempuan dirugikan, didiskriminasi," tegasnya.

Padahal menurutnya, keterwakilan perempuan di legislatif Nduga sangat penting. Konflik dan situasi keamanan yang tidak kondusif menyebabkan banyak warga Nduga mengungsi ke wilayah lain.

"Setiap kali konflik, yang paling rentan adalah kaum perempuan dan anak-anak. Siapa yang akan memperjuangkan, berbicara tentang mereka jika tidak ada perwakilan perempuan di DPR," kata Darimi.

Dalam sejarahnya, keterisian kursi DPRD Nduga oleh kelompok perempuan memang selalu minim. Di tiga periode, hanya satu wakil perempuan di DPRD Nduga. Kondisi serupa besar kemungkinan terjadi lagi di Pemilu 2024 ini. (Burhan)




Bagikan :