Norma Sosial Dalam Jurnalistik: Profesionalisme vs Kapitalisme
Selasa, 23 Februari 2021 - 12:30 WIT Admin - Papua60Detik
Indonesia adalah negara yang kental akan budaya kebangsaan. Indonesia juga menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dalam hidup bermasyarakat. Tak sedikit norma yang dianut dan dijaga oleh warganya. Norma atau aturan itu bisa berasal dari agama atau keyakinan, atau diproduksi oleh masyarakat itu sendiri dan dipertahankan dan diajarkan secara turun-temurun. Karena itu kita mengenal adanya norma agama dan norma sosial. Keduanya sama-sama mengatur hubungan antar manusia.
Norma dan Etika.
Norma ini digunakan sebagai panduan dan pengendali tingkah laku. Norma juga berfungsi sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu, apakah baik atau tidak, pantas atau tidak. Berbicara mengenai norma sosial, kita juga dihadapkan pada pembicaraan mengenai etika. Etika itu sendiri sebenarnya adalah sebuah ilmu, yakni ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, juga tentang hak dan kewajiban moral.
Selain itu, aturan yang dibuat manusia juga dapat berupa hukum. Hukum selain dibuat oleh manusia, sifatnya lebih mengikat dan pengukuhannya dilakukan oleh pemerintah. Jika ada pelanggaran terhadap hukum, sanksinya sudah jelas dan sudah diatur (sanksi hukum). Namun, jika pelanggaran itu menyangkut norma atau etika, sanksinya berupa sanksi sosial. Aturan mengenai sanksi sosial ini tidak seperti hukum yang tertulis (pidana). Sanksi sosial bersifat konvensional atau berdasarkan kesepakatan umum yang sudah menjadi kebiasaan, misalnya teguran.
Institusi media massa, tempat para jurnalis bekerja, dianggap sebagai institusi sosial karena industri media massa memiliki wilayah kerja yang mencakup banyak kepentingan, di antaranya masyarakat, pemilik media, wartawan, serta institusi politik dan budaya lainnya.
Karena wadahnya yang bersifat sosial, maka norma ini menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk ranah bidang keprofesian. Dalam kesempatan ini, pembahasan akan mengkhususkan pada dunia profesi jurnalistik. Pekerjaan jurnalistik bersentuhan erat dengan kehidupan manusia. Yang menjadi fokus objek liputannya pun lebih sering manusia. Tak salah jika ada aturan yang bersifat normatif yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan jurnalis.
Pada bidang jurnalistik, etika bisa dikatakan mengatur secara internal. Artinya, etika media massa berlaku untuk lingkup institusi media massa itu sendiri dan tidak memasukkan publik dalam pelaksanaannya. Etika media lebih bersifat institusional ketimbang bersifat publik. Misalnya Kode Etik Jurnalistik yang dibuat untuk menjaga kredibilitas wartawan dan para pekerja media, dengan menerapkan standar-standar profesi kewartawanan yang harus dipatuhi. Karena sifatnya yang normatif, apabila wartawan melanggar Kode Etik Jurnalistik, ia tidak mendapatkan sanksi pidana, melainkan sanksi sosial seperti teguran atau hingga dikeluarkan dari komunitas pekerja media atau dari institusi media itu sendiri.
Landasan moral dan etika profesi kewartawanan diperlukan sebagai pedoman operasional guna menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalitas. Landasan moral dan etika profesi itu dituangkan dalam Kode Etik Jurnalistik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers pada tahun 2006. Kode etik ini bukanlah aturan hukum. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers. Sanksi atas pelanggarannya pun dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Profesionalisme vs Kapitalisme.
Profesionalisme adalah dambaan atau tujuan dari hampir setiap organisasi. Pemilik atau pengelola media massa merupakan sebuah organisasi. Profesionalisme merupakan mutu dari sebuah institusi. Dalam bidang industri media massa, profesionalisme dapat tercapai bila idealisme dan komersial berjalan beriringan dan seimbang.
Irisan antara idealisme dan komersial inilah tempat media massa yang profesional berada. Namun, pada kenyataannya, menciptakan irisan ini tidaklah mudah. Banyak sekali kasus di mana komersial menggerus idealisme. Media massa sebagai sebuah industri yang memproduksi dan dikonsumsi tentu memikirkan aspek komersil. Dalam beberapa situasi, komersial yang menggerus idealisme bisa dilihat pada, contohnya, surat kabar yang memasang iklan di halaman paling depannya sehingga menutupi isi halaman satu surat kabar harian itu sendiri. Padahal, kita tahu bahwa di halaman satu itulah identitas sebuah media massa surat kabar tersebut.
Profesionalisme itu sendiri sebenarnya diwujudkan oleh tenaga penggerak media massa, seperti para wartawan, pemimpin redaksi, orang-orang di meja redaksi, dan sebagainya. Sementara kapitalisme selalu dimiliki oleh para pemilik media, dalam arti seperti pemegang saham terbesar, pemberi modal terbesar, atau pemegang kekuasaan tertinggi dan mutlak. Kapitalisme ini muncul ketika suatu media massa ‘dimiliki’ oleh seseorang yang sekaligus sebagai sumber dana bagi operasional industri media itu.
Kapitalisme dianggap menjadi penyebab ‘tidak bebas’nya media massa dalam pemberitaan. Contoh kasus, ada sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia yang tidak mau menayangkan berita-berita terkait kerugian yang timbul akibat bencana lumpur Lapindo, oleh karena PT Lapindo merupakan perusahaan yang pemiliknya adalah juga pemilik stasiun televisi swasta tersebut. Contoh lainnya lagi, ada stasiun televisi swasta yang sangat sering kita jumpai pemberitaannya mengenai salah seorang tokoh pendiri salah satu partai politik, yang tak lain adalah pemilik adalah pemilik stasiun televisi swasta tersebut. Sehingga penting bagi stasiun televisi tersebut untuk menyiarkan segala acara mengenai sang pendiri partai politik tersebut.
Relevansi dan Urgensinya.
Jurnalis bekerja untuk warga, untuk masyarakat banyak, karena itulah jurnalis bekerja dengan aturan norma sosial. Namun, menyangkut tempat di mana jurnalis itu bekerja, mereka punya tuntutan dari segi profesionalitas bahkan kapitalis institusi media tempat mereka bekerja.
Ada aturan misalnya jurnalis tidak boleh menyebutkan nama pelaku kriminal atau korban kejahatan seksual. Identitas mereka hanya dituliskan atau disebutkan inisialnya saja. Bahkan, wajah mereka akan diburamkan jika medianya adalah media televisi. Ini dimaksudkan untuk tidak membuat pandangan buruk orang-orang kepada pelaku atau korban, serta untuk menjamin keamanan mereka.
Lebih dari itu, ada beberapa situasi yang menimbulkan urgensi pembuatan norma dalam urusan media massa. Di antaranya, seperti yang sudah disinggung di awal, media massa ini bersifat publik. Atas dasar inilah, media massa hendaknya mempunyai standar kelayakan terhadap berita agar berita tersebut layak dikonsumsi oleh publik. Sebagai tindak lanjut standarisasi tersebut, media massa harus menetapkan dan menerapkan aturan standar mengenai prosedur, metode, dan etika dalam penggalian informasi.
Karena media massa hadir sebagai pemenuhan hak masyarakat akan informasi, media massa harus mempunyai komitmen untuk menjaga independensinya agar tidak mengkhianati hak masyarakat tersebut. Independensi itu harus bisa dijamin melalui norma-norma.
Indonesia adalah negara demokratis, di mana pers berposisi sebagai pilar keempat demokrasi, yakni sebagai pengontrol kekuasaan ketiga pilar lainnya: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena itulah perlu adanya aturan untuk media massa agar kewenangan dan kekuasaannya tidak melampaui kekuasaan trias politika.
Media massa, tempat jurnalis bekerja, memiliki kepentingan institusional seperti idealistis, ideologis, atau bisnis. Karena memiliki kepentingan tersendiri, media massa harus diawasi agar tidak terjadi tabrakan kepentingan, seperti kepentingan bisnis melawan kepentingan kebenaran atau validitas informasi, atau misalnya kepentingan idealis menaifkan kepentingan populis, dan sebagainya.
Siapakah yang mengawasi Jurnalis dan media massa?
Yang mengawasi jurnalis dan media massa adalah Publik. Masyarakat dimana media massa itu beradalah yang bisa mengawasi, selain secara organisatoris adalah keberadaan Dewan Pers tentunya.
HENDRIKUS PURNOMOA