Perluasan Perkebunan Sawit Mengancam Kepemilikan Tanah Adat Suku Aywu

- Papua60Detik

Dian Faradillah. Foto: Dokumentasi pribadi
Dian Faradillah. Foto: Dokumentasi pribadi


Dinamika kebutuhan ekonomi yang terus meningkat mengakibatkan aktivitas perkebunan di Indonesia terus mengalami ekspansi hingga ke beberapa wilayah Papua yakni Boven Digoel yang terletak di Provinsi Papua Selatan. Dimana kehidupan masyarakat adat suku Aywu merasa mulai terancam dengan adanya pengalihfungsian lahan hutan adat menjadi lahan perkebunan sawit yang dibangun oleh PT. Megakarya Jaya Raya dan PT. Kartika Cipta Pratama yang mempunyai konsesi terhadap hutan milik suku Aywu. 

Pembangunan perkebunan sawit ini dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat suku Aywu yang bermata pencaharian dengan mengandalkan hasil hutan dan perkebunan  sebagai sumber pangan serta obat-obatan. 


Sejumlah 8.828 hektar lahan hutan adat milik masyarakat adat telah dibuka oleh dua perusahaan pemegang konsensi hutan tersebut dan tersisa 65.415 hektar lahan yang masih dapat diamankan sebagai hutan hujan asli. Penyelamatan hutan ini dilakukan dengan tujuan menyelamatkan kehidupan masyarakat sekitar dari kerusakan lingkungan sebagai dampak deforestasi hutan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya dua perusahaan tersebut melaporkan gugatan pada PTUN di Jakarta dalam laporan tersebut PT Megakarya Jaya Raya mendaftarkan gugatan mereka pada 10 Maret 2023. Gugatan yang teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT. Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel dan PT. Kartika Cipta Pratama mendaftarkan gugatan pada 15 Maret 2023 dan teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT. Obyek gugatan dalam perkara ini yakni Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. 

Adapun perwakilan masyarakat Aywu  melakukan permohonan ke PTUN Jakarta terkait permohonan intervensi sebagai pihak tergugat, gugatan tersebut dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap kepemilikan tanah adat suku Aywu dari eksploitasi oleh perusahan sawit. Selain itu gugatan dilakukan untuk memperoleh transparansi informasi tentang izin pembukaan perkebunan sawit yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  yang diduga menyalahi aturan hukum. Menurut suku Aywu pemerintah telah menyalahi aturan hukum adat dengan mengizinkan perusahaan beroperasi di lahan adat yang seharusnya dimanfaatkan sebagai ekosistem dan sumber kehidupan bagi masyarakat setempat. 

Berdasarkan kondisi di atas maka sudah seharusnya pemerintah dan Kementerian terkait mampu menyelesaikan masalah ini sebab permasalahan bukan hanya sekedar perizinan perusahaan tetapi terkait hajat hidup masyarakat di area perkebunan sawit yang akan terancam apabila terdapat perusahaan yang beroperasi namun mengabaikan tata kelola ruang dan fungsi hutan adat yang perlu dilestarikan. Pemerintah daerah dan Kementerian pun harus melakukan kajian terhadap daerah yang sesuai untuk pembangunan sawit dan mana yang tidak karena masyarakat adat di wilayah papua dan sekitarnya masih bergantung dengan keberadaan hutan adat sebagai sumber penghasil pangan dan mata pencaharian. Selain itu diperlukan pula peran tokoh adat yang peduli terhadap kelangsungan masyarakatnya sehingga dapat menyuarakan aspirasi masyarakat  ke Pemerintah Daerah dan Pusat  agar peristiwa eksploitasi terhadap hutan adat oleh perusahaan tidak terus meningkat yang menyebabkan kehidupan masyarakat akan terancam. 

Pemerintah dapat melakukan beberapa kebijakan agar eksploitasi hutan adat tidak semakin meningkat yakni pertama, mereformasi kebijakan tata agraria untuk meminimalisir adanya kesenjangan antara penguasaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat setempat. Kedua, melakukan penegakan hukum yang ketat terhadap pelaku eksploitasi ekosistem dan sumber daya alam. Ketiga, mengkaji kembali kebijakan terkait perizinan perusahaan tambang / sawit yang beroperasi dan pelepasan kawasan hutan dan penerima manfaat perusahaan agar terdapat dasar hukum yang jelas untuk sebuah perusahaan dapat beroperasi di wilayah hutan adat. Keempat, Mendorong korporasi sawit untuk mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan nol deforestasi, nol gambut, nol eksploitasi  baik di level grup hingga ke level konsesi. 

Penulis: Dian Faradillah




Bagikan :