Papua Kaya Emas, Tapi Masyarakatnya Mandi Limbah: Seruan Keadilan Hilirisasi dari Tanah Amungsa

Papua60Detik

Selaku Ketua Dewan Adat Daerah
Selaku Ketua Dewan Adat Daerah


Oleh: Vinsent Oniyoma - Ketua Dewan Adat Daerah Mimika

Selaku Ketua Dewan Adat Daerah, saya menyampaikan keprihatinan mendalam atas ketimpangan struktural yang terus berlangsung di wilayah penghasil tambang emas dan tembaga terbesar kedua di dunia, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. 

Implementasi kebijakan hilirisasi nasional yang semestinya menjadi jalan keluar dari ketimpangan ekonomi, justru memperdalam jurang ketidakadilan antara pusat dan daerah.

Papua: Kaya Sumber Daya, Miskin Kesejahteraan

Dunia tahu bahwa tambang emas dan tembaga terbesar kedua di dunia ada di Papua Tengah. Tapi ironisnya, kami yang hidup di atas kekayaan itu justru menjadi bagian dari statistik kemiskinan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa Kabupaten Mimika masih tergolong sebagai salah satu kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi di Indonesia. Hal ini sangat kontras dengan keberadaan PT Freeport Indonesia yang telah beroperasi sejak tahun 1977 dan menghasilkan miliaran dolar dari isi perut Gunung Amungsa. Kedalaman tambang Grasberg yang mencapai lebih dari 1.500 meter di bawah permukaan tanah, menjadi simbol dari kekayaan yang terus digali, namun tidak dinikmati oleh masyarakat adat di sekitarnya.

 Limbah dan Ketimpangan: Realitas Hidup Masyarakat Adat

Selama hampir lima dekade, masyarakat asli Papua di sekitar area tambang hidup berdampingan dengan limbah. Kami mandi limbah, bukan emas.

Berdasarkan laporan lingkungan PT Freeport Indonesia tahun 2024, volume tailing yang dibuang ke dataran rendah Mimika mencapai lebih dari 230.000 ton per hari. Limbah ini telah menutup sebagian wilayah pesisir Mimika, merusak ekosistem, dan menghilangkan ruang hidup masyarakat adat.

Bayangkan, sejak tahun 1977 sampai tahun 2025, setiap hari isi perut gunung dibuang ke dataran rendah kami. Kami tidak hanya kehilangan tanah, tapi juga kehilangan masa depan.

Hilirisasi: Janji yang Gagal Ditepati

Kebijakan hilirisasi nasional yang dicanangkan pemerintah pusat bertujuan untuk memutus rantai distribusi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Namun, implementasi kebijakan ini justru mengabaikan prinsip keadilan spasial.

Smelter emas dan tembaga justru dibangun di Gresik, Jawa Timur, jauh dari lokasi tambang. Ini bukan hilirisasi, ini pemindahan nilai tambah dari Papua ke Jawa.

Padahal, Papua memiliki status Otonomi Khusus dan kini telah menjadi provinsi tersendiri, Papua Tengah. Namun, kebijakan pembangunan industri pengolahan dan pemurnian tetap tidak berpihak pada daerah penghasil. Kebijakan Ini adalah bentuk nyata dari Jakarta-sentrisme yang masih hidup dalam kebijakan pembangunan nasional.

Seruan Pembangunan Smelter dan Industrialisasi Lokal di Mimika

Pemerintah pusat dan seluruh pemangku kepentingan harus segera membangun fasilitas smelter dan pengolahan tailing di Mimika. Hal ini bukan hanya soal keadilan ekonomi, tetapi juga soal keberlanjutan lingkungan dan sosial.

Sudah saatnya mimpi kesejahteraan diwujudkan di tanah kami sendiri. Kami mendesak industrialisasi lokal untuk memutus biaya distribusi yang mahal, menyerap tenaga kerja lokal, dan membangun infrastruktur yang layak.

Pembangunan smelter di Mimika akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi lokal, peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta penguatan kemandirian daerah. Selain itu, ketersediaan pasar baja murah, listrik, jalan, dan perdagangan saham berbasis emas akan menjadi katalisator bagi transformasi Mimika menjadi kota modern dan sejahtera.

Stop Tipu-Tipu: Papua Tidak Butuh Janji, Tapi Aksi Nyata

Papua tidak butuh janji lagi. tapi aksi nyata. Mimika butuh keadilan. Mimika butuh pembangunan yang berpihak pada rakyat, bukan pada modal.

Dewan Adat Daerah Papua Tengah akan terus mengawal dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, serta memastikan bahwa kekayaan alam Papua dikelola untuk kesejahteraan rakyat Papua, bukan untuk memperkaya segelintir elite (oligarki). 

Seruan ini bukan sekadar kritik, tetapi panggilan moral untuk membangun Indonesia yang adil dan setara dari timur, menuju Indonesia emas serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.




Bagikan :